Berkisah Lewat Segenggam Pasir

Wayang pasir berbeda dengan wayang golek atau wayang kulit. Dalang tidak hanya pandai bercerita, tetapi juga harus lihai merangkai objek dalam gambar.
Fauzan unjuk kebolehan melukis dengan media pasir yang diproyeksikan melalui sebuah layar besar pada salah satu acara kesenian di Bandung, Jawa Barat, Selasa (20/12).
Segenggam pa­sir ditaburkan Fauzan Ja’far ke dalam sebuah kotak kaca. Jemarinya lincah meratakan pasir dan menarik garis dari ujung kanan atas membentuk satu, dua, tiga, empat kotak. Penon­ton terdiam namun hati mereka menebak apa yang digambar Fauzan. Tepuk tangan meme-cahkan keheningan ketika Fau­zan menuntaskan gambar yaitu sebuah keramaian di sebuah kompleks perkantoran.
Ya Fauzan menjadi seorang dalang yang berkisah melalui guratan-guratan di atas pasir. Bukan hanya satu cerita terka­dang ada serangkaian cerita dan pesan yang dibawakan oleh dalang wayang pasir. Agar lebih menarik dalang atau seniman menggunakan pasir putih dan kotak kaca yang dilengkapi dengan cahaya lampu di bagian bawah kotak. Penonton bisa melihat pertunjukkan wayang dari layar putih yang diproyeksi­kan dari kotak kaca.
Ada perbedaan antara pe­mentasan wayang biasa dengan wayang pasir. Pada wayang biasa si dalang hanya bercerita dan memainkan wayang yang terbuat dari kulit atau golek kayu. Sementara dalam wayang pasir dalang tidak hanya ditun­tut mahir bercerita tetapi juga kecepatan dalam menggambar di atas pasir.
Fauzan saat melukis dengan media pasir yang diproyeksikan melalui layar besar.
Fauzan bercerita, tidak ada yang berani mengklaim siapa yang pertama memperkenalkan kesenian ini. Hanya saja kesenian ini pertama kali ada di Samoa, Pasifik Selatan. “Keseni­an ini tidak berasal dari negara-negara pusat kesenian dunia,” kata Fauzan, ketika dihubungi Prioritas, Rabu pekan lalu.
Awal mulanya kesenian ini tumbuh di sebelah barat daya Amerika, oleh penduduk yang dikenal dengan sebutan Najavo pada tahun 1800-an. Fauzan mengatakan, kesenian ini di­jadikan oleh ritual oleh pen­duduk sekitar. Ritual melukis menggunakan pasir ini diyakini mampu mengusir roh-roh jahat dan menyembuhkan penyakit. “Mereka kan termasuk suku-suku animisme ya, itu untuk menyembah dewa-dewanya,” kata dia.
Fauzan bilang dalam ritual tersebut seni mereka lebih nyentrik. Mereka membuat bagan-bagan geometris. Bahkan ada yang mencampurkan warna dalam lukisan tersebut.
Menurut dia, wayang pasir ini punya keunikan tersendiri. Pasir, sebagai media utama, adalah partikel yang lepas dan tidak mengikat. Butiran-butiran pasir tersebut bisa dengan lelu­asa dibentuk. Inilah yang mem­bedakan wayang pasir dengan wayang-wayang yang sudah ada.
Fauzan mencontohkan se-perti wayang golek atau wayang kulit, dalang hanya bertugas untuk memainkan wayang yang sudah ada. Berbeda dengan wayang pasir, si dalang harus lincah menggambar objek. “Ada unsur proses dan itu yang selalu ditunggu,” jelasnya.
Namun wayang pasir di Indonesia masih belum dikenal banyak orang. Seniman di Indo­nesia saat ini kebanyakan masih bersifat terjajah. Dia mencon­tohkan misal, di Perancis sedang berkembang suatu mode, maka Indonesia akan latah mengikuti. Tak ingin disebut terjajah oleh seniman pasir di luar negeri, Fauzan mencoba membuat teknik sendiri. “Saya tidak ter­lalu primitif, saya menciptakan kreasi sendiri,” ucapnya.
Misalnya penggunaan pasir yang tidak terlalu tebal. Dia memilih menggunakan pasir lebih tipis dibanding pelukis pasir lainnya. Ketebalan pasir menurutnya bisa menghambat kecepatan dalam melukis. Fau­zan mempelajari wayang pasir ini sudah tiga tahun, masyarakat masih menilai kesenian ini masih langka dan belum banyak yang menekuni.
Fauzan melukis dengan media pasir yang diproyeksikan melalui layar.
Pengamat Seni Rupa, Agus Kutjing mengakui masih jarang seniman yang mau menekuni wayang pasir. Kesenian itu, menurut dia masih happening art dan kekuatan dari wayang pasir adalah dokumentasi video.
Kesenian ini, kata Agus, bisa berkembang lagi apabila senimannya bisa mengeksplo­rasi lebih jauh lagi cerita yang disampaikan. “Si dalang juga harus menguasai narasi dan bisa menerjemahkannya dalam gam­bar dalam waktu cepat, durasi-nya hanya 10 menit sampai 15 menit saja” kata dia.

0 komentar:

Copyright © 2012 Forum Komunikasi Mahasiswa Lombok-DIY.