Menguak Kanal di Majapahit

Berdasarkan kajian teks dan arkeologi, Agus Aris Munandar melemparkan gagasan tentang konsep kota Majapahit tanpa kanal. Dipertanyakan banyak pihak.
Kanal-kanal dilengkapi dengan pelabuhan-pelabuhan kecil menyekat kota Majapahit ratusan tahun lalu. Di beberapa sudut pelabuhan kecil itu, keriuhan transaksi terjadi antara pedagang dari berbagai negara yang menjajakan barang dagangannya berupa keramik, manik-manik dan kain.
“Cukup indah dan bisa diterima secara logika,” ujar Agus Aris Munandar kepada sekitar 200 orang duduk di ruang seminar di Fakultas ilmu Budaya Universitas Indonesia, Kamis pekan lalu.
Konstruksi tentang kota yang berjaya ketika dipimpin Raja Hayam Wuruk ini dibuat sejak hasil foto udara yang dilakukan 1973 yang menunjukkan terdapat jalur-jalur berpotongan tegak lurus utara selatan dengan lebar berkisar 35 hingga 45 meter bahkan ada yang mencapai 94 meter. Ditemukan sedimentasi yang cukup tebal di dalam jalur-jalur ini.
Dari pengeboran yang dilakukan beberapa arkeolog dibeberapa titik kanal menunjukkan jalur-jalur rendah ini adalah tanah yang dilalui air. Fungsinya selain sebagai saranan transpotasi, kanal ini sekaligus sebagai saluran irigasi, cadangan air di musim kemarau sekaligus pertahanan untuk rumah pejabat.
Tapi keraguan pun mulai muncul ketika Agus menemukan jobong-jobong atau sumur-sumur tua dan struktur bata ketika menggali kanal di daerah Sentonorejo yaang dilakukan beberapa waktu lalu. Tak hanya itu bagi Agus, keraguan itu semakin menguat karena kajian prasasti dan karya sastra yang lahir pada masa sezaman seperti Nagarakertagama dan Serat Pararaton tak menyebut adanya kanal di kota Majapahit. Pendeta Bujangga Manik pun tak menulis melintasi kanal ketika berkeliling Majapahit di kitabnya. “Fungsinya sangat mungkin bukan kanal,” kata Agus di hadapan rekan dan sejawatnya yang juga peneliti Majapahit.
Dari kajian yang bersandar pada ajaran Hindhu-Budha, ia yakin kemungkinan penerapan konsep Triloka dan Triangga pada bentang alam Majapahit. Ia pun merujuk pada penataan desa di Bali yang masih menerapkan konsep yang sama. Dari relief di candi-candi Majapahit pun ditemukan pahatan rumah-rumah hunian yang menganut konsep Triloka.
Sedangkan konsep Triangga ini diwujukan dengan membagi lahan menjadi sembilan kotak untukmembuat pembagian lahan berdasarkan kelasnya yaitu nista, madya dan uttama. Sistem ini masih digunakan di Bali Selatan hingga saat ini yang dikenal dengan Sanga Mandala. Agus yakin penataan lahan inti kota Majapahit masih mengikuti konsep Triangga dengan pembagian Sanga Mandala yang disesuaikan.
Jika di Bali selatan posisi kawasan yang diutamakan menuju arah timur laut, pada bentang kota Majapahit, posisi kawasan utama di geser ke arah tenggara yang mengarah pada gunung Penanggungan, daerah yang dianggap sebagai tempat bersemayam para dewa. “Sumur Upas disepakati sebagai daerah yang tinggi,” kata Agus.
Karena itulah, daerah rendah yang selama ini diyakini sebagai kanal, menurut Agus adalah pemukiman golongan rakyat jelata Majapahit selain sebagai jalan kota. Yang kemungkinan besar berubah menjadi saluran air ketika terjadi banjir bandang karena posisinya yang sengaja dibuat lebih rendah dari pemukiman untuk kelas madya (kesatria) dan utama (brahmana).
Mundardjito yang selama ini getol melakukan penggalian di daerah Trowulan menolak gagasan ini. Ia mempertanyakan pada lapisan mana proses penggalian dilakukan? Lapisan kanal yang dibuat pada masa majapait akhir, tengah atau awal. Karena jika penggalian dilakukan pada seluruh lapisan tidak akan ditemukan benda arkeologis. “Jika hanya pada masa majapahit tengah, bawahnya akan ditemukan benda-benda,” ujar Mundarjito ketika ditemui seusai acara.
Argumentasi berdasarkan naskah-naskah kuno bagi Mundardjito dinilai tak cukup untuk menjelaskan tata kota Majapahit karena pembuatan naskah bergantung pada siapa pengarang dan kepentingannya. Data obyektif hasil penemuan di lapangan diperlukan dalam kajian arkeologis. “Interpretasi jangan di balik,” katanya menambahkan.
Pendapat senada disampaikan Yusmaini Eriawati, peneliti Pusat Arkeologi Nasional. Penelitian yang diilakukan sejak 2004-2010 memanfaatkan teknologi global positioning system (GPS) hingga 2500 titik dan pengeboran sedalam 2,5 meter menunjukkan bahkan daerah yang lebih rendah diindikasikan sebagai saluran air. Pada kawasan yang diduga saluran ini juga ditemukan polen-polen atau tanaman air. “Tidak mungkin itu pemukiman,” ujarnya.
Bagi Agus, penolakan gagasannya kota Majapahit tak menjadi masalah. Tapi ia tetap berkukuh pada pendiriannya. “Itu biasa. Penggalian menyeluruh memang harus dilakukan,” kata Agus dengan nada ringan. Arkelog saat ini berkejaran dengan proses penghilangan jejak lantaran kawasan bekas kota kuno Majapahit ini menjadi areal pemukiman dan pusat industri bata terbaik di Jawa Timur. Banyak kerusakan terjadi.

0 komentar:

Copyright © 2012 Forum Komunikasi Mahasiswa Lombok-DIY.