Temu, Penjaga Seni Gandrung
Diusia lebih dari setengah abad, Temu Mesti masih menari. Bintang seni Gandrung yang hidup jauh dari gemerlap.
Bibir Temu Mesti selalu tersenyum.
Tulang pipinya merona. Usianya tak lagi muda tak menghambat gerakan
badan dan goyangan pinggulnya yang tetap bertenaga. Liukan tubuh Temu
diringi tabuhan dua kendang khas Oseng, gong, lengkingan suara biola
yang digesek sederhana dan dentingan triangle.
Berbalut kain panjang yang sempit di
bagian ujung kaki, langkah kaki Temu tetap lincah. Tangannya pun tak
kalah gesit memainkan kain selendang yang menjuntai dari lehernya.
Sambil menari suaranya jernih mengalunkan tembang Padha Nonton, lagu
pembuka pentas Gandrung di Taman Ismail Marzuki malam itu.
“Podo nonton, pudak sempal ring
lelurung. Ya, pendite pudak sempal lambeyane para putra. Para putra
kejalan ring kedung Lewung. Ya, jalang jala sutra, tampange tampang
kencana. Kembang Menur, melik-melik ring bebentur. Ya, sun siram alum,
sun petik nyirat ati. Lare angon, gumuk iku paculana. Tandurana kacang
lanjaran, sak unting ulih perawan.”
Penggalan lagu yang dapat ditafsirkan
beratnya perjuangan orang Oseng, suku asli Banyuwangi mempertahankan
tanah airnya, dinyanyikan Temu sepenuh jiwa. Tak terdengar nafas yang
sengal meski sesekali di sela melantunkan lirik, badannya terus bergerak
menari.
Temu adalah satu-satunya penari
Gandrung, yang masih menari di usia senja. “Yang lain sudah pensiun,”
ujarnya kepada Prioritas usai pentas.
Ia masih kerap tampil di
hajatan atau di acara-acara resmi kebudayaan. Darah seni mengalir dari
ayahnya yang dikenal sebagai seorang seniman ludruk dan kakeknya adalah
ahli membaca lontar. Ia mulai menari ketika berusia 15 tahun. “Belajar
dari keluarga yang juga penari Gandrung,” ujar Temu.
Temu Mesti, maestro tari Gandrung dari asal Desa Kamiren Glagah, Banyuwangi pada pementasan “Maestro!Maestro! Tari Tradisi” di TIM, Jakarta, Rabu (5/12). |
Tak hanya tampil dari panggung ke
panggung, ia juga mengajarkan tariannya lewat sanggar Kesenian Gandrung
Sopo Ngiro. Sayangnya belum satu pun penari yang bisa mewarisi
kemampuannya menyanyi, menari sekaligus dan ngopak atau melakukan kritik
kondisi sosial lewat pantun. “Sebenarnya banyak yang belajar tapi tak
sampai rampung buru-buru menikah,” ujarnya.
Pengalaman pahit berkesenian
sering dialami. Suara emasnya menyanyikan lagu-lagu tradisional
Banyuwangi pernah direkam pada 1975. Penjualannya menembus angka 50 ribu
VCD dan 10 ribu kaset. Tapi tak ada royalti yang diterima saat itu. Ia
hanya menerima honor Rp 1 juta per lagu yang dinyanyikan.
Seorang mantan pejabat lembaga
donor dari Amerika, Phillip Yampolsky pun pernah merekam suara dan
mendokumentasikan gerak eksotis Temu Mesti pada 1990-an. Hingga saat ini
rekaman ini pun diperjualbelikan di situs internet Amazon.com dengan
judul Songs Before Dawn (Gandrung BanyuwangI), dijual seharga US$ 17,99 dalam bentuk VCD, sedangkan rekaman MP3 dijual seharga US$ 8,99.
Ada 11 sebelas lagu dalam rekaman itu, seperti Delimoan, Erang-Erang Subuh, Giro, Padha Nonton, dan Jaran Dhawuk.
Pada uraian editorial Amazon. com jelas disebut suara yang direkam
dalam penampilan penari gandrung, Temu. Tapi tak ada keuntungan yang
diterima Temu selain upah Rp 60 ribu untuk rekaman yang dilakukan selama
10 jam, waktu itu.
Suaranya telah melanglang buana
menembus batas negara tapi sebagai bintang seni gandrung hidupnya jauh
dari gemerlap. Ia tinggal di rumah sederhana, di Desa Kemiren, Glagah
Banyuwangi ini. Jika tak ada tanggapan atau undangan menari, ia memilih bertani dan beternak. Tapi semangatnya menari tak pernah surut.
Seperti malam itu, setelah 45
menit menari dan melantunkan beberapa lagu, senyumnya tetap tersungging
meladeni setiap penggemar dari ibu kota yang ingin berfoto. Ia
mengatakan akan terus menari gandrung, selama badan masih sehat.
0 komentar: