Membuka Diri Menggali Kebenaran
Serat atau Suluk Gatholoco kembali hadir
menyentakkan kesadaran bahwa roh agama adalah spiritualitas. Upaya
menepis kekakuan dalam kehidupan beragama.
Buku Gatholoco karya Damar Shashangka. |
Jikalau aku harus mandi/
tubuhku sudah penuh air/ jikalau aku harus mandi api/ di dalam tubuhku
penuh api/ jikalau bisa bersih menggosok badan dengan tanah/ sudah jelas
(daging ini) berasal dari tanah/ Jikalau aku mandi angin/ badanku
sumber angin/ beritahukan kepadaku apa yang yang harus kupakai untuk
mandi? Ketiga guru menjawab/ Tubuhmu dari cairan (sperma)/ Layaklah jika
mandi air agar suci tubuhmu itu.
Gatholoco lantang menjawab/
kalian santri bodoh/ jikalau bisa suci karena mandi air/ aku akan
berendam selama sembilan bulan saja/ tidak perlu mencari ilmu
(Ketuhanan)/ Ketahuilah bahwa sesungguhnya/ aku telah mandi Tirta tekad
suci ening (air tekad suci yang jernih)/ yaitu jernihnya hati tanpa
dikotori oleh segala macam perbuatan salah/ itulah mandi yang
sesungguhnya.
Kalimat di atas adalah petikan
salah satu Suluk Gatholoco, ajaran filosofi tentang perjalanan pencarian
kebenaran yang diperkirakan ditulis pada 1800-an. Tak jelas siapa
pengarang asli ajaran yang dikemas dalam bentuk tembang macapat dalam
bahasa Jawa ini.
Mashuri, sastrawan yang juga mengkaji
Serat Gatholoco mengatakan banyak nama yang diduga menulis karya ini
seperti Raden Soewandi, Soeryonegoro bahkan Ronggowarsito. “Hingga kini
belum diketahui siapa pengarang sesungguhnya,” kata Mashuri kepada
Prioritas, Jumat pekan lalu.
Sejak kelahirannya hingga saat ini,
ajaran spiritualitas dalam suluk Gatholoco menjadi kontroversi. Ada yang
menganggap suluk ini menyerang ajaran agama Islam merujuk pada
penggunaan nama-nama tokoh dan tempat yang identik dengan Islam. Ajaran
ini pun nyaris terlupakan dan tak berkembang di masyarakat. Selama ini
suluk Gatholoco hanya dikaji dalam ruang-ruang kuliah.
Adalah Damar Shasangka, penulis novel
Sabdo Palon yang menterjemahkan naskah lama ini dan memberi interpretasi
dalam sebuah buku berjudul Gatholoco sama dengan nama suluk ini. Buku
setebal 394 halaman ini dilengkapi dengan catatan kaki dan penjelasan
mendalam oleh penulisnya tidak hanya merujuk pada ajaran Islam tapi juga
Kristen, Hindu dan Budha.
Damar Shasangka kembali menyuguhkan
ajaran yang mengandung tiga tradisi kepercayaan Hindu-Budha, Islam
Tasawuf dan Kejawen ini karena ia ingin mengajak kembali generasi muda
menengok kearifan ajaran Jawa. Karena bagi Damar ketika generasi muda
menjauhi dari akar budaya berarti pertanda kehancuran suatu bangsa.
“Karena itulah saya menerjemahkan dan menginterpretasikan serat
Gatholoco,” kata Damar kepada Prioritas Jumat pekan lalu.
Ia mengakui ajaran yang disampaikan
lewat sosok tokoh imajiner bernama Gatholoco ini cukup kritis menelaah
ajaran agama Islam misalnya tentang konsep hidup, mati, surga, neraka,
halal, haram dan pencapaian spritualitas. Namun menelaahnya melalui
pemahaman seksualitas dengan pembahasan mendalam filosofi Lingga Yoni.
Akibatnya serat Gatholoco ini banyak mendapatkan penentangan terutama
dari kaum puritan ortodok.
Apalagi pemilihan tokoh
Gatholoco dan Dewi Perjiwati yang merujuk pada alat kelamin laki-laki
dan alat kelamin perempuan dianggap terlalu vulgar. Padahal hasil telaah
Mashuri pada naskah lama penggunaan simbolisasi tersebut sejak dulu
telah sering digunakan.
Mashuri pun menambahkan banyak
kalangan dominan yang menganggap serat Gatholoco ini hanya milik aliran
Kebatinan atau Kejawen. Aliran-aliran ini dianggap bukan bagian dari
Islam. “Padahal jika ditelusuri beberapa aliran kebatinan cukup Islami,”
ujar Mashuri. Tidak seperti yang anggapan umum yang dikembangkan selama
ini.
Bagi Mashuri suluk
Gatholoco ini bukanlah bentuk perlawanan pada ajaran Islam yang saat itu
mulai berkembang di Jawa. Kendati di dalam suluk itu muncul nada minor
dan plesetan pada ajaran Islam. Si penulis suluk yang misterius ini
sejatinya ingin mengajak agar seseorang membuka diri pada kebenaran yang
bertebaran di alam semesta. Jangan sampai menutup diri pada kebenaran
karena kesadaran batinnya akan terlelap sehingga terjebak oleh ilusi
kebodohan.
0 komentar: