Temu, Penjaga Seni Gandrung

Diusia lebih dari setengah abad, Temu Mesti masih menari. Bintang seni Gandrung yang hidup jauh dari gemerlap.
Temu Mesti, maestro tari Gandrung dari asal Desa Kamiren Glagah, Banyuwangi pada pementasan “Maestro!Maestro! Tari Tradisi” di TIM, Jakarta, Rabu (5/12).
Bibir Temu Mesti selalu tersenyum. Tulang pipinya merona. Usianya tak lagi muda tak menghambat gerakan badan dan goyangan pinggulnya yang tetap bertenaga. Liukan tubuh Temu diringi tabuhan dua kendang khas Oseng, gong, lengkingan suara biola yang digesek sederhana dan dentingan triangle.
Berbalut kain panjang yang sempit di bagian ujung kaki, langkah kaki Temu tetap lincah. Tangannya pun tak kalah gesit memainkan kain selendang yang menjuntai dari lehernya. Sambil menari suaranya jernih mengalunkan tembang Padha Nonton, lagu pembuka pentas Gandrung di Taman Ismail Marzuki malam itu.
“Podo nonton, pudak sempal ring lelurung. Ya, pendite pudak sempal lambeyane para putra. Para putra kejalan ring kedung Lewung. Ya, jalang jala sutra, tampange tampang kencana. Kembang Menur, melik-melik ring bebentur. Ya, sun siram alum, sun petik nyirat ati. Lare angon, gumuk iku paculana. Tandurana kacang lanjaran, sak unting ulih perawan.”
Penggalan lagu yang dapat ditafsirkan beratnya perjuangan orang Oseng, suku asli Banyuwangi mempertahankan tanah airnya, dinyanyikan Temu sepenuh jiwa. Tak terdengar nafas yang sengal meski sesekali di sela melantunkan lirik, badannya terus bergerak menari.
Temu adalah satu-satunya penari Gandrung, yang masih menari di usia senja. “Yang lain sudah pensiun,” ujarnya kepada Prioritas usai pentas.
Ia masih kerap tampil di hajatan atau di acara-acara resmi kebudayaan. Darah seni mengalir dari ayahnya yang dikenal sebagai seorang seniman ludruk dan kakeknya adalah ahli membaca lontar. Ia mulai menari ketika berusia 15 tahun. “Belajar dari keluarga yang juga penari Gandrung,” ujar Temu.
Temu Mesti, maestro tari Gandrung dari asal Desa Kamiren Glagah, Banyuwangi pada pementasan “Maestro!Maestro! Tari Tradisi” di TIM, Jakarta, Rabu (5/12).

Tak hanya tampil dari panggung ke panggung, ia juga mengajarkan tariannya lewat sanggar Kesenian Gandrung Sopo Ngiro. Sayangnya belum satu pun penari yang bisa mewarisi kemampuannya menyanyi, menari sekaligus dan ngopak atau melakukan kritik kondisi sosial lewat pantun. “Sebenarnya banyak yang belajar tapi tak sampai rampung buru-buru menikah,” ujarnya.
Pengalaman pahit berkesenian sering dialami. Suara emasnya menyanyikan lagu-lagu tradisional Banyuwangi pernah direkam pada 1975. Penjualannya menembus angka 50 ribu VCD dan 10 ribu kaset. Tapi tak ada royalti yang diterima saat itu. Ia hanya menerima honor Rp 1 juta per lagu yang dinyanyikan.
Seorang mantan pejabat lembaga donor dari Amerika, Phillip Yampolsky pun pernah merekam suara dan mendokumentasikan gerak eksotis Temu Mesti pada 1990-an. Hingga saat ini rekaman ini pun diperjualbelikan di situs internet Amazon.com dengan judul Songs Before Dawn (Gandrung BanyuwangI), dijual seharga US$ 17,99 dalam bentuk VCD, sedangkan rekaman MP3 dijual seharga US$ 8,99.
Ada 11 sebelas lagu dalam rekaman itu, seperti Delimoan, Erang-Erang Subuh, Giro, Padha Nonton, dan Jaran Dhawuk. Pada uraian editorial Amazon. com jelas disebut suara yang direkam dalam penampilan penari gandrung, Temu. Tapi tak ada keuntungan yang diterima Temu selain upah Rp 60 ribu untuk rekaman yang dilakukan selama 10 jam, waktu itu.
Suaranya telah melanglang buana menembus batas negara tapi sebagai bintang seni gandrung hidupnya jauh dari gemerlap. Ia tinggal di rumah sederhana, di Desa Kemiren, Glagah Banyuwangi ini. Jika tak ada tanggapan atau undangan menari, ia memilih bertani dan beternak. Tapi semangatnya menari tak pernah surut.
Seperti malam itu, setelah 45 menit menari dan melantunkan beberapa lagu, senyumnya tetap tersungging meladeni setiap penggemar dari ibu kota yang ingin berfoto. Ia mengatakan akan terus menari gandrung, selama badan masih sehat.

0 komentar:

Copyright © 2012 Forum Komunikasi Mahasiswa Lombok-DIY.